Pengadilan Niaga Jakarta Pusat mengeluarkan dari kasus Ari vs Agnez dengan putusan bahwa Agnez Mo terbukti melanggar hak cipta dengan membawakan lagu "Bilang Saja" tanpa izin pencipta. Si Agnez ini wajib membayar ganti rugi sebesar Rp1,5 miliar. Kalau ditarik kesimpulan, Ari Bias bisa dikatakan menang dalam kasus ini. Tapi belum berhenti sampai di sini pastinya, masih ada upaya hukum lain yang bisa ditempuh melalui banding.
Kronologi Kasus Ari vs Agnez
Saya mencoba merangkum kronologi berdasarkan berita dari internet dan media sosial.
Jadiiii....
Ari Bias adalah seorang pencipta beberapa lagu populer yang dinyanyikan oleh Agnez Mo, contohnya. Dalam kasus itu "Bilang Saja" adalah lagu yang diperkarakan.
Pada Mei 2024, Agnez Mo membawakan lagu ciptaan Ari Bias dalam konser di klub milik HW Group. Dalam konser tersebut, Ari Bias ternyata ditak dimintai izin oleh Agnez atau HW Group sebagai penyelenggara konser. Izin aja tidak diminta, apalagi royalti tentu saja tidak diterima oleh Ari Bias yang kemudian melayangkan somasi terbuka kepada keduanya.
Ari lalu menuntut ganti rugi sebesar Rp1,5 miliar. Sebuah nilai yang fantastis bagi satu buah lagu. Ya, memang urusan perut itu perlu diperjuangkan karena insan musik hidupnya dari karya yang indah, bukan dari penyisihan anggaran pemerintah.
Setelah tidak ada
tanggapan dari kedua pihak, Ari Bias melaporkan kasus ini ke Bareskrim kemudian
menggugat secara perdata ke pengadilan. Klimaksnya, pada akhir Januari 2025,
pengadilan mengabulkan gugatan Ari Bias dan memberi denda Agnez Mo.
Kenapa kok HW tidak digugat juga? Dalam hal ini menjadi pertanyaan banyak pihak dan muncul spekulasi liar di kalangan masyarakat. Bisa saja karena menggugat korporat itu lebih susah dibanding menggugat individu. Selain itu, yang mendapat keuntungan langsung dari lagu tersebut ya penyanyi, yang notabene adalah Agnez Mo.
Akar Masalah
Siapa sih yang seharusnya membayar royalti? penyelenggara alias event organizer atau penyanyi? Pada umumnya, pengetahuan masyarakat yang muncul adalah EO yang harus bayar ke Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Hal ini digembar-gemborkan sejak lama dan masyaralat mulai paham. Jadi HW Group harus membayar kepada LMKN, lalu LMKN menyalurkannya kepada Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). Setelahnya LMK menyalurkan kepada pemilik hak yang biasanya direkap per tahun.
Bagi yang belum paham, yang namanya LMK itu ya semacam WAMI, KCI, RAI, SELMI, dan sebagainya. Fungsinya ya mengelola royalti dari anggotanya dan menyalurkannya ke anggota. Anggotanya siapa? anggota LMK itu ya para musisi, penyanyi, band, dll di bidang musik. (googling aja ya kepanjangannya apa aja tuh LMK)
Lalu kenapa ada LMKN ada LMK? Ya pemerintah pengen tertib, jadi yang memungut satu lembaga saja, yaitu LMKN, tidak semuanya memungut. Yang dipungut royalti, seperti karaoke, cafe, hotel, rumah makan bakalan pusing karena banyak yang dateng nagih royalti.
Yang kedua,
Penyanyi (performer) harus membayar langsung kepada pencipta. Kalau dalam
istilah hak cipta skema ini disebut sebagai direct licensing, di mana pencipta
lagu dapat menentukan sendiri skema pembayaran royalti tanpa perlu adanya
perantara LMKN.
Kedua skema di atas memiliki dasar yang di Indonesia. Keduanya diatur dalam Undang-Undang Hak Cipta (cek sendiri ya, lupa pasal berapa). Namun, dalam kasus ini, Ari Bias ternyata tidak mendapatkan royalti melalui kedua jalur tersebut. Ya namanya urusan perut yang menjadi kebutuhan dasar manusia, pasti soal royalti itu diperjuangkan hingga titik darah penghabisan.
Yang perlu dipahami bersama adalah nilai dari hakim sebesar Rp1,5 miliar yang harus dibayarkan Agnez Mo bukanlah nilai royalti yang harus dibayar ke pencipta setiap kali menyanyikan lagu ciptaan orang lain. Nilai itu adalah denda atau hukuman atas pelanggaran hak cipta yang diputuskan Bapak/Ibu Hakim Niaga. Kalau penyanyi dan penyelenggara mengikuti aturan yang ada, nilai sebesar itu tidak akan muncul.
Pembenahan Sistem Royalti adalah Solusi
Masalah utama dalam pengelolaan royalti dalam negeri adalah sistem yang tidak transparan dan efisien. Beda dengan amerika, seorang penyanyi bahkan bisa hidup sampai mati hanya dengan satu lagu.
Saat ini, di dalam negeri sistem blanket license masih digunakan. Kalau yang belum tahu, penjelasan singkatnya adalah royalti dihitung berdasarkan keseluruhan, bukan detail per lagu. Yang dijadikan acuan atau penghitung besarannya adalah luas area tempat, jumlah kursi, atau jumlah room karaoke dan lain-lain. Kemudian blanket license ini dipungut LMKN berdasarkan penghitungan tersebut.
Akibat dengan sistem tersebut, royalti pencipta menjadi lebih kecil karena banyak potongan administrasi dan tidak terhitung dengan akurat berapa nilai sebenarnya. Namun sistem ini memberikan keuntungan kepada pencipta yang bahkwan lagunya jarang dimainkan atau diputar. Asal dia ikutan gabung LMK seperti WAMI dia akan mendapatkan royalti.
Sebaliknya, dalam direct licensing, pencipta bisa langsung menegosiasikan pembayaran royalti dengan penyanyi. Ini lebih eksklusif dan lebih fleksibil antara pencipta dan penyanyi. Misalnya, pencipta lagu meminta beeberaa persen 10% dari honor penyanyi dari pertunjukaan di sebuah konser. Tentu saja nilai ini lebih besar dibandingkan blanket license.
Namun, direct licensing punya kelemahan dimana pencipta harus mengawasi dan menagih royalti sendiri di seluruh Indonesia. Ini sih jelas sangat tidak praktis, dan butuh banyak pasukan tersendiri. Selain itu, musisi pendukung seperti arranger, pemain gitar, bass, drum, hingga seruling mungkin tidak mendapatkan bagian yang adil.
Ini sih pencipta bisa memilih, mau susah tapi dapet banyak, atau gampang tapi dapet duit dikit?
Untuk mengatasinya, pemerintah perlu mengembangkan sistem elektronik yang lebih transparan, misalnya pembangunan pangkalan data musik dan lagu yang mencatat semua yang digunakan di konser, karaoke, atau tempat lainnya. Ini bukan hal mudah mengingat ada jutaan lagu di Indonesia. Lalu sistem tersebut juga disempurnakan dengan pencatatan otomatis, integrasi dan data real-time, sehingga dapat dengan mudah dipantau oleh pencipta sendiri.
Dengan solusi
ini, pencipta tidak perlu menagih sendiri, dan semua pembayaran royalti bisa
terukur dengan jelas.
Langkah terakhir yang harus dilakukan adalah tentu saja soal regulasi yang menyesuaikan zaman. Saat ini, sudah banyak musisi yang menjadi anggota DPR. Ambil saja contohnya Melly Goeslow yang juga ikut mengomentari melalui akun instagramnya atas kasus ini.
Namun, penyusunan UU ini harus tetap objektif yang tidak hanya menguntungkan kelompok tertentu. Selain itu, hak cipta bukan hanya soal musik, tetapi juga mencakup karya lain seperti lukisan, buku, rekaman, dan seni lainnya yang membutuhkan perlindungan yang kuat
Akhir kata, sebaiknya kita mengambil hal yang positif alias mengambil hikmah dari semua peristiwa termasuk kasus Ari Bias vs. Agnez Mo. Mari kita anggap ini adalah momentum untuk memperbaiki sistem royalti dalam negeri. Janganlah kita mengambil hal negatif saja yang menganggap kasus ini membuat keruh hubungan harmonis penyanyi dan pencipta lagu yang selama ini telah terjalin.
Mari kita upayakan sistem pelindungan hak cipta yang menguntungkan bagi semuanya. Semoga saja bisa setara apa yang ada di Amerika Serikat. Jadi, buat para anggota dewan, kapan mau studi banding ke Amerika Serikat? Gak kena efisiensi anggaran kan?
Comments
Post a Comment